Perjuangan untuk diri sendiri

Gubrak!
Ine membanting HP BW (Black and White) singkatan yang biasa digunakan siswa sekolah Ine untuk menyebut HP berlayar hitam-putih yang sama sekali tidak tren di zaman sekarang, benda itu baru saja menjeritkan alarm.

“Apa? Jam lima?” jerit Ine histeris.
Ine mengucek dan menyipitkan mata, berusaha memperjelas penglihatannya, lalu kembali menatap layar HP tanpa mematikan alarm, tak ada yang berubah, jam digital masih tetap menunjukkan angka lima. Di Aceh, daerah paling barat Indonesia ini, sahur harus diakhiri jam 05.00 wib, seiring berkumandangnya adzan subuh.

“Buset dah, kamu tahu nggak sih aku mesti sahur?” Tanya Ine kesal kapada HPnya.

#Dug Dug Dug...

“Itu sirine imsak!” jerit Ine histeris. Ine segera menghambur menuju dapur. Tanpa memperdulikan tatapan anggota keluarganya yang lain.
“Siapa suruh nggak bangunin aku?” batin Ine kesal. Ine meneguk air putih sebanyak-banyaknya, berusaha mengalahkan kecepatan sirine imsak dan berhasil mengosongkan tiga gelas air dalam waktu kurang dari lima menit. Ine langsung kembali ke kamar tanpa basa-basi dengan Bunda, Ayah atau Kak Retno.

Di kamar, HP malang milik Ine masih meraung-raung ditinggal majikannya. Dengan kasar, Ine mendiamkan HP itu.
“Aku udah nyetel kamu jam empat, masih aja bunyinya jam lima, niat bangunin sahur nggak sih? Walau dibanding HP teman-temanku, kamu kalah jauh sih, masak cuma bangunin sahur aja kamu nggak becus?” Ine merutuk HPnya.

Sayup-sayup terdengar alunan adzan dari masjid-masjid. Kembali menenangkan hati Ine yang dongkol. “Astagfirullah, aku kan udah puasa,” sesal Ine. Sang nafsu menggodanya untuk segera memejamkan mata, Setan jingkrak-jingkrak ikut menyemangatkan. Namun Malaikat tak mau kalah ikut menjalankan aksinya.

“Ne, kamu kan sahurnya Cuma air putih, setidaknya kamu shalat, minta sama Allah supaya air yang masuk ke lambung kamu bisa jadi ayam goreng, memperlambat kerja lambung biar nggak cepat lapar (maksa bener nih malaikat)”
Secuil sisi baik yang masih tersisa di hatinya menyetujui pernyataan malaikat.
Tertatih-tatih Ine melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu. Dengan mata setengah terbuka Ine memaksa dirinya untuk shalat subuh. Malaikat kanan dengan bahagianya menulis catatan kebaikan untuk Ine.
Selesai shalat, Ine segera menghempaskan tubuhnya ke kasur, sebentar kemudian, matanya sukses terpejam.

Kring, kring, kring! Ine sengaja menyetel alarmnya dengan volume maksimum.
Alhasil setiap alarmnya berdering, ayam-ayam tetangga sebelah menjadi gusar mengira mereka akan segera disembelih.
Tapi Ine sedikitpun tidak merasa terusik dengan suara berisik yang berasal dari HPnya. Baru pada dering ketujuh, Ine terbangun, mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadaran.

"Aa… jam berapa sekarang?” Ine panik begitu sadar langit sudah membiru, menandakan matahari telah bertandang ke bumi.
Harap-harap cemas Ine melirik jam dinding berbentuk kepala Mickey Mouse yang menggantung di dekat meja belajarnya. Jarum panjang dan pendeknya kompak menunjukkan angka tujuh.

“Bagus, telat lagi, kan?” sungutnya.
Ine segera menyambar handuk dan dan masuk ke dalam kamar mandi. Menggosok gigi dan mencuci mukanya. Fotokopi, istilah untuk mandi kilat ini. Luarnya saja yang kelihatan mandi, tapi dalamnya tak usah ditanya. Untuk saat-saat terdesak seperti ini, Ine tahan tidak mandi seharian!
“Anak gadis kok jorok,” Kak Retno sering berkomentar seperti ini, namun ditanggapi dingin oleh Ine.
Sebentar kemudian Ine sudah siap dengan seragam SMAnya. Dari gantungan tas, Ine menarik sembarang tas dan segera marathon menuju sekolah yang hanya berjarak 500 meter dari rumahnya. Sesekali Ia melirik jam tangan, berharap dunia berhenti berputar semenit saja sampai ia tiba di gerbang sekolah. Hah, Ine terlalu banyak bermimpi!
Gerbang masih terbuka saat Ine tiba.
“Alhamdulillah,” syukur Ine. Ia segera masuk sambil berlari-lari kecil.
“Pak, I love You,” ucapnya dengan senyum sumringah ketika berpapasan dengan Pak Ujeg sang satpam sekolah, laki-laki paruh baya bertubuh tinggi dengan wajah tirus yang bibirnya selalu menyungging senyum meski kerap digoda oleh warga sekolah.
Pak Ujeg hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah aneh Ine. Ine tak peduli, langsung melesat menuju kelasnya di lantai dua.
Ine mengendap-ngendap begitu tiba di depan pintu kelas. Berdiri sejenak, mencoba menerka-nerka kemungkinan yang akan terjadi jika ia masuk terlambat ke kelas. Ine melonjak kaget ketika tangan seseorang mendorong pintu dan hampir mengenai wajahnya. Ine segera mendongakkan kepalanya, mencoba melihat wajah sosok yang lebih tinggi beberapa sentimeter darinya.

“Telat?” sosok itu mengeluarkan suara. Singkat, padat dan menusuk.

“Hm..” Ine menggumam tak jelas. Sosok itu memperhatikannya dari kepala hingga ujung kaki.

“Kamu? Sandal?” ujar sosok itu tak beraturan. Ine mengikuti arah pandangan sosok itu menuju kakinya. Ine nyengir.

“Maaf, Bu.” Ucap Ine pelan. Bibir sosok yang berdiri di depannya terkatup rapat, terlalu shock karena Ine terlambat tiga puluh menit dan mengenakan sandal jepit bergambar Doraemon ke sekolah. Refleks, Ine mundur beberapa langkah, berusaha menyembunyikan si 'Doraemon' di balik rok panjangnya.

“Maaf deh, Bu. Tadi buru-buru, boleh masuk ya?” ujar Ine sambil tersenyum manis tanpa rasa bersalah.

“Pulang sekarang!” sosok itu bersuara lagi, namun tetap menusuk.

“Bu, tapi saya sudah usaha secepat mungkin,” kata Ine berusaha membela diri.

“Kamu niat sekolah rupanya?” sosok itu menyindir.

“Niat kok, niat banget,” kata Ine cepat. Ketika Ine sadar beberapa kepala mendongak berusaha 
memperhatikannya dan Bu Fitri, Guru Bahasa Indonesia kami lewat kaca jendela kelas.


“Ibu…” ujar Ine lagi, kali ini dengan wajah memelas.

“Ya sudah, ini yang pertama dan terakhir kalinya. Saya tidak mau ada siswa yang mengulang kejadian 
ini,
” kata Bu Fitri setengah mengancam. Refleks, Ine tersenyum lebar.
Di dalam kelas.
“Hm, apa kamu sudah mengerjakan PR Ine?” Tanya Bu Fitri penuh selidik.

“Sudah dong!” jawab Ine percaya diri.
Ine lalu mengaduk-ngaduk isi tasnya. Lalu berhenti sejenak saat tak menemukan benda yang Ia cari. Ine menepuk keningnya, tangannya mulai mendingin.


“Ada apa Ine?” Tanya Bu Fitri.

“Saya… Saya salah bawa tas Bu,” ujar Ine lirih.

“Sekarang apa lagi alasanmu?” Bu Fitri merasa dikhianati.
***
Tiba di rumah, Ine segera masuk ke kamarnya. Menghempaskan tubuh di kasur dan menghirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata.
Rasanya tulang-tulang telah remuk dan patah. Selepas mengaduk-ngaduk isi tas dan tidak menemukan buku Pekerjaan Rumah (PR) nya, Bu Fitri langsung memvonis bahwa Ine tidak mengerjakan PR. Ine lalu dihukum keliling lapangan basket lima kali putaran dan membersihkan kamar mandi guru yang seluas ruang kelas, sendirian! Akibatnya, Ine harus pulang satu jam lebih telat dari biasa.
Tiba-tiba Ine membuka matanya, terduduk lalu melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 15.00 WIB.

“Hari ini kamis. Ada les Bahasa Inggris! masih ada waktu setengah jam,” Ine segera menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi.
Kali ini benar-benar mandi, bukan seperti pagi tadi. Selesai mandi, Ine menarik sembarang pakaian dari lemarinya. Rok jeans kembang bertingkat dipadukan dengan kaus putih bergambar Dinosaurus dan jilbab abu-abu. Sama sekali tidak matching, tapi Ine tak peduli dengan penampilannya, yang penting aurat tertutup, kan? Selesai mematut diri sesaat di depan cermin, Ine menyambar kunci maticnya di atas meja belajar. Setengah berlari, menuju ruang depan sambil meminta izin kepada Bunda.

“Bunda, Ine les ya!”

“Iya, hati-hati, jangan ngebut!” balas Bunda dari dapur, sedang menyiapkan buka puasa bersama Kak Retno.
“Ya Bunda!”
Di tengah jalan, setan kembali menggoda Ine.
“Ne, coba deh singgah di Zero (tempat penyewaan buku favorit Ine), mungkin kamu bisa dapat novel baru.”
“Jangan Ne, konsisten dong! Tadi kan niat kamu buat les, masa tiba-tiba nyerong ke Zero,” Malaikat mencoba meluruskan niat Ine. Ine berpikir sejenak, lalu mengangguk-ngangguk dan memarkir maticnya di depan Zero.
Malaikat langsung lemas, dasar Ine! Ia segera masuk dan mencari-cari novel bagus. Kalau sudah tiba di tempat yang berhubungan dengan buku, Ine bisa lupa waktu.
Setelah meminjam beberapa novel dan komik, sekilas Ine melirik jam dinding yang terpajang di dekat pintu masuk Zero.
'Jam lima,' batin Ine.
Matanya melebar.
“Jam lima! Les sudah mulai satu setengah jam yang lalu. Tidak!” seru Ine panik. Ine segera memacu maticnya secepat mungkin, lupa kepada pesan Bunda agar tidak ngebut, bodoh ah!
***
Malamnya, seusai berbuka puasa Ine terus memasang tampang cemberut. Sepulang tarawih dari masjid dekat rumah pun wajah kusutnya tak berubah.
“Kenapa, Ne?” Tanya Bunda lembut sambil mengelus rambut Ine saat menonton TV di ruang keluarga.
“Kesal.” Jawab Ine ketus.
“Uhm?” Bunda menggumam sambil menautkan alisnya, meminta penjelasan.
“Bunda sih tadi pagi nggak bangunin Ine, jadinya telat sekolah. Kan Ine buru-buru, lupa pakai sepatu deh, coba Bunda bayangin Ine pakai sandal Doraemon ke sekolah! Terus PR Ine ketinggalan karena salah bawa tas, tas yang Ine bawa tadi isinya buku les semua. Ine dihukum mutar lapangan basket lima kali terus bersihin kamar mandi guru. Telat les lagi.” Ujar Ine panjang lebar sambil memonyongkan bibirnya.
“Telat les? Bukannya tadi kamu berangkat jam tiga?” Tanya Bunda penuh selidik.
Ine nyengir.
“Tadi Ine singgah di Zero dulu sih Bunda,”
“Itu sih salah kamu,” kata Bunda.
“Ya maaf deh Bunda, tapi kan…”
“Iya, iya Bunda ngerti, hari ini kamu harusnya dapat banyak pelajaran. Makanya kebiasaan kamu nunda pekerjaaan itu sudah harus dibuang jauh-jauh,” potong Bunda.
“Loh, apa hubungannya?” protes Ine.
“Kamu telat bangun karena ngerjain PR sampai larut malam kan? Padahal PRnya sudah ditugasin seminggu yang lalu, harusnya dengan waktu luang yang banyak, PR itu bisa selesai minggu kemarin. Mana buku kamu tinggal, dapat hukuman lagi.” Jelas Bunda.
“Jadi Bunda?” Tanya Ine tak sabar.
“Coba deh Ine ambil kacang hijau di toples dalam laci meja dapur. Terus Ine tanam di dua pot berbeda, pot yang satu Ine taruh di tempat terang, yang satu lagi di tempat yang nggak kena cahaya mataharinya,” Kata Bunda kemudian.
“Ha? Kacang hijau? Terang? Nggak ada cahaya matahari? Bunda ngaco deh,” ujar Ine kurang yakin.
“Nggak usah banyak protes. Lakuin saja, ntar kalau sudah jadi tauge, Bunda jelasin,” Kata Bunda sambil mengedipkan sebelah matanya.
Tanda tanya besar bersarang di otak Ine, ia tak habis pikir maksud Bunda. Apa hubungannya kesialannya sepanjang hari ini dengan kacang hijau? Tanpa banyak tanya lagi Ine segera melakukan perintah Bunda. Ah, Bunda memang sok misterius.
Tiga hari kemudian.
Ine kembali memperhatikan kedua pot taugenya lalu memindahkan ka ruang keluarga. Penasaran, Ia segera mencari Bunda.
“Bunda!” panggil Ine setengah berteriak.
“Ya!” jawab Bunda dari halaman depan rumah. Ine segera menuju halaman depan, mendapati Bunda sedang sibuk bersama mawar-mawarnya.
Tak sabar Ine menarik-narik daster coklat Bunda yang bermotif bunga-bunga besar, menagih penjelasan tentang tauge-taugenya.
“Sebentar Sayang,” ujar Bunda gemas.
Ine menurut, mundur beberapa langkah sambil memperhatikan Bunda dan mawar-mawarnya. Tak sampai lima menit Bunda sudah menyelesaikan kesibukannya.
Ine dan Bunda menuju ke ruang keluarga.
“Apa maksud Bunda dengan tauge-tauge ini?” Tanya Ine penasaran sambil menunjuk kedua pot taugenya.
“Coba kamu perhatikan, apa beda tauge yang ditaruh di tempat gelap sama tempat yang kena cahaya mataharinya?” Bunda balas bertanya.
“Bunda kayak guru Biologi Ine aja deh,” canda Ine.
“Yang di tempat gelap, taugenya kurus, tinggi, pucat dan lebih mudah dipatahin, beda sama tauge yang satu lagi, lebih pendek, berisi dan lebih kuat.” Ujar Ine yakin.
“Bagus-bagus. Sekarang Ine ngerti maksud Bunda?” tanya Bunda lagi.
“Ngerti bunda, kalau mau tanam tauge ya di tempat terang,” jawab Ine polos.
Bunda Tertawa mendengar penjelasan Ine, ternyata Ine belum sepenuhnya mengerti.
“Begini, misalnya Ine sebagai kacang hijau yang belum berkecambah…” terang bunda terputus
“Enak aja Ine dibilang kacang hijau,” protes Ine lagi. Bunda melebarkan matanya, mengisyaratkan Ine untuk mendengar tanpa banyak bicara.
“Anggap saja cahaya matahari itu masalah-masalah Ine, kalau Ine nggak pernah dihadapkan ke masalah-masalah, maka Ine bisa menjadi sosok yang lemah, rapuh, dan mudah patah seperti tauge yang diletakkan di tempat gelap. Dari masalah-masalah itu, Ine bisa belajar, supaya jadi kuat, berisi, nggak mudah patah.” Jelas Bunda panjang lebar.
Ine manggut-manggut.
“Jadi kalau mau jadi kuat kita harus punya banyak masalah ya Bunda?”
“Ya nggak harus, tapi setidaknya dari satu masalah kita bisa belajar agar jangan sampai mengulang kesalahan yang sama. Dengan menyelesaikan satu masalah, kita bisa mencegah datangnya masalah-masalah lain.” Jawab Bunda lagi.
“Ine tahu, jadi kita harus menggunakan energi dari masalah itu supaya bisa jadi kuat kayak tauge yang menggunakan energi dari mahari kan Bunda?” tanya Ine antusias.
Bunda tersenyum mendengar pernyataan Ine.
“Dari masalah kamu kemarin, kamu harus menghilangkan kebiasaan menunda pekerjaan, dan membiasakan membuat jadwal sebelum melakukan sesuatu. Istilahnya 'Life Map', peta hidup.
Kita bisa memperkirakan tujuan, risiko dan cara-cara agar bisa maksimal dalam melakukan suatu hal.” Terang Bunda lagi “Dan satu lagi, sekarang saatnya kamu untuk merdeka, jangan mau dijajah oleh nafsu. Seperti sempat-sempatnya mampir ke Zero saat akan les,” Bunda tersenyum nakal sambil melirik Ine.
Ine nyengir.
“Iya Bundaku sayang, Ine janji deh. Makasih ya,” kata Ine sambil memeluk Bunda.
-----
Pada akhirnya, tauge yang ditanam di tempat terang juga akan mengalami pertambahan tinggi secara normal, namun seiring berjalannya waktu, tauge yang diletakkan di tempat gelap akan mengalami etiolasi, istilah untuk tauge yang pertumbuhannya tidak normal dan lebih cepat layu.
Ine kini lebih teratur dan disiplin. Membuat setan-setan yang dulu setia bersorak setiap berhasil menggodanya kehilangan semangat, Ine tak mau lagi bersahabat dengan mereka. Semua tak lepas dari kemauan kerasnya melawan sesuatu di dalam dirinya sendiri, yaitu nafsu, sehingga secara otomatis akan menjauhkannya dari setan-setan pengganggu. Ayo sebagai pemimpin dan rakyat bagi diri sendiri, ajak tubuh dan pikiran melawan nafsu kita.-----
 Merdeka!

0 Response to "Perjuangan untuk diri sendiri"

Post a Comment

notifikasi
close